Alam, di sini kita berada

Aku, alam dan Tuhan-ku adalah satu dan tidak terpisahkan ...

Berbagi, karena ilmu bukan milik kita sendiri

Tuhan-lah yang menitipkan ilmu pada kita sebagai media untuk menebar kasih bagi semesta.

Menempuh perjalanan-perjalanan panjang

Untuk merasakan dan mensyukuri setitik dari tak berhingga karya agung-Nya ...

Masa depan, yang terbangun dari kasih-Nya

Ia titipkan pada seseorang yang mau menerimaku apa adanya ...

Tangguh, memutus jarak tanpa keluh

dan di dalamnya kita berserah, hingga kita tiba di tujuan ...

Minggu, 25 November 2012

PI yang bukan PHI, bukan 22/7 bukan pula 3.14

Happy birthdayπ (courtesy of Wikipedia)

Pi, atau dalam literasi aslinya π merupakan simbol yang merepresentasikan sebuah bilangan irasional
3.1415926535897932384626433832795......
Simbol π pertama kali digunakan oleh Leonhard Euler sejak tahun 1748[1]. Apa yang ada di benak kita setiap menemukan simbol ini? tidak lain dan tidak bukan adalah lingkaran. Bagaimana tidak, di seluruh rumus yang dijejalkan pada kita semenjak sekolah dasar hingga perguruan tinggi, semuanya pasti memakai konstanta ini. Mungkin ada yang bertanya-tanya, kok rasanya ada "sesuatu" yang beda ya? Yupp, memang beda, di banyak buku pelajaran Matematika yang aku terima maupun temui hingga sekarang, ternyata masih banyak yang menuliskan transliterasi π dengan phi.

Pak Euler, si "dewa" dari beberapa konsep matematis algoritma
foto lukisan Johann Georg Brucker (1756) (courtesy of Wikipedia)

Aku sendiri belum tahu gimana sejarah kesalah-kaprahan ini, tapi untuk memulai penyebutan yang benar, lebih baik terlambat daripada tidak sama sekali kan? Pada waktu SMA akhirnya aku menemukan bahwa π bukanlah phi, melainkan pi. Sedangkan phi adalah transliterasi untuk Φ (kapital), φ (huruf kecil) atau simbol matematis ϕ yang digunakan untuk merepresentasikan bilangan irasional The Golden Number. Konsep kontinyum bilangan (termasuk di dalamnya bilangan irasional) serta the golden numberinsyaAllah akan aku bahas dalam kesempatan lain.

Lantas mengenai nilai π sendiri, didapat dari mana? Menjelaskan dengan kata-kata mungkin agak susah, ilustrasi berupa berkas GIF dari Wikipedia di bawah ini semoga membantu

Perhatikan jejak garis merah yang ditinggalkan oleh perputaran roda

Sebagai bilangan irasional yang nilainya tidak dapat dinyatakan dalam pecahan bilangan bulat, maka nilai tepat dari π tidak dapat dipastikan, namun masih bisa didekati. Salah satu laman web memuat bilangan π dengan pendekatan hingga 100,000 digit, penasaran? kunjungi http://www.geom.uiuc.edu/~huberty/math5337/groupe/digits.html ^.^

Lantas, mungkin bakal ada pertanyaan lagi, "lho, bukannya phi, ... eh, maksudnya pi bisa dinyatakan dalam pecahan bilangan bulat ya? tuh ... 22/7", hayooo coba dihitung pakai kalkulator, berapa nilai dari 22/7? ternyata eh ternyata ...

3.142857 142857 142857 142857 142857 ......

Tuh, beda kan? Perhatikan saja iterasi (pengulangan) bilangan di belakang koma yang terbentuk, iterasi itu menunjukkan bahwa bilangan di atas adalah bilangan rasional, yang tentu saja berlawanan dengan sifat irasional pi. Lha terus kenapa Bapak Ibu Guru kita dulu mengajarkan Pi sebagai 22/7? Tujuannya tidak lain dan tidak bukan adalah untuk memudahkan penghitungan. Bayangkan aja misal kita dikasih soal; "berapa keliling lingkaran berdiameter 7 cm?", kalau dipaksakan menggunakan nilai asli dari π pasti akan menyusahkan, dengan adanya pendekatan π = 22/7 maka siswa dapat menemukan nilai pendekatan keliling lingkaran tersebut dengan mudah, yaitu 22 cm. Yang --mungkin-- kurang ditekankan oleh para pengajar matematika, bahwa 22/7 itu sebagai PENDEKATAN dari nilai pi. Kondisi ini sama halnya seperti pendekatan dua digit desimal untuk π, yaitu 3.14.

[1] Arndt, Jörg; Haenel, Christoph (2006). Pi Unleashed. Springer-Verlag. ISBN 978-3-540-66572-4

Sabtu, 03 November 2012

Ekspedisi Tanah Jawa Kalungan Wesi I (Day 3, BD)

CERITA SEBELUMNYA, HARI KE-1 | HARI KE-2

Hari ketiga ekspedisi TJKW-1 sepenuhnya berlangsung di Kota Bandung, tempat aku menimba ilmu selama sekitar tiga tahun. Urusan hari ini pun gak jauh-jauh dari urusan akademik, yaitu ngambil salinan legal dari ijazah yang aku titipin sama salah satu mantan muridku di Smanti yang saat ini juga menempuh kuliah di kampus Ganesha. 

Kampus di luar negeri? bukan, ini di Bandung kok ... ^.^

KA Harina yang mengantarku dari Kota Cirebon tiba sekitar pukul 4:52, atau lebih cepat sekitar 6 menit dari jadwal seharusnya di Stasiun Hall Bandung (BD). Rasa capek selepas seharian menjelajah Jawa Tengah rupanya membuatku benar2 terlelap sehingga tidak menyadari bahwa kereta yang membawaku telah berjalan "mundur" selama lebih kurang 100 menit. Perlu diketahui bahwa seperti halnya KA Purwojaya --di Stasiun Kroya (KYA)--, KA Harina juga menjalani "ritual" balik-arah di Stasiun Cikampek (CKP), sekaligus berganti nomor dari 49 menjadi 52. 

Sekeluar dari mushola mini di sisi utara stasiun, aku pun berjalan setengah mengantuk menuju tempat cegatan angkot andalan berwarna ungu, rute Cisitu-Tegallega menuju kawasan Cisitu, sebuah area di Kota Bandung yang lebih dari separo populasinya berasal dari luar Bandung. Tujuanku adalah sebuah rumah kos bernama "Pondok Abah Ale", yang merupakan salah satu kamp basis anak2 alumni SMA Negeri 3 Malang di Bandung (stalker sejati-ku, si Aswin :D menyebutnya dengan kosan "boto", yang artinya batu-bata, sebab memang berdinding batu-bata yang tidak dilapisi semen), di pondok itulah selama lebih kurang dua tahun aku ngekos bersama adik-adik kelasku --yang juga mantan muridku-- di Smanti, semasa masih kuliah.

Adegan seperti ini lumrah terjadi di kosan kami, kami memang saling menyayangi =))

Di kosan dengan ibu kos yang super baik dan ramah ini, aku akan numpang sehari, di kamar Fatchun, yang baru saja meraih gelar Sarjana Teknik-nya di STEI-ITB. Bekas kamarku sendiri saat ini sudah ditempati penghuni lain. Sekitar jam 8 pagi, aku pun berjalan menuju kampus, tapi sesuai rencana yang sudah aku susun, aku berencana untuk sarapan terlebih dahulu, dan sasaranku adalah bubur ayam langganan di depan Asrama Bumi Ganesha. Akang penjualnya ternyata masih ingat sama aku (penting), hanya saja harga buburnya (+ sebutir telur rebus) udah naik dari 6,000 menjadi 7,000 rupiah, hihihi iya lah, udah lebih dari setahun juga.

Percaya deh, ini salah satu bubur ayam terlezat di dunia

Masih sesuai rencana, aku melanjutkan jalan kaki menuju Sasana Olahraga Ganesha (Saraga), tujuanku adalah berenang, semasa masih kuliah aku cukup rutin berenang di sini, hanya saja kali ini berhubung KTM-ku sudah nggak berlaku, akhirnya aku mesti bayar penuh 12 ribu rupiah.

Sanggar seni yang asri di kawasan Babagan Siliwangi, jalan tembus dari Jl. Tamansari ke Saraga

Selesai berenang aku pun melanjutkan langkah untuk mengambil transkrip akademik titipan temanku, yang unik, dari Saraga yang terletak di bagian utara menuju kampus di bagian tengah terdapat sebuah terowongan, yang melintang Jl. Tamansari. Ada sedikit perbedaan dari terakhir kali aku ke sini, yaitu keberadaan sebuah bilik ATM salah satu bank dan beberapa etalase yang tampaknya milik beberapa unit aktivitas mahasiswa.


Terowongan Saraga jadi lebih terang


Lepas dari terowongan, cus ke Gedung Labtek V dan lanjut ke Salman, nostalgia Jumatan di situ. Kelar Jumatan, nostalgia lagi makan siang di kantin Salman, sekarang makin mahal euy ... menu yang dulu seputaran 7000-8000 sekarang jadi 10ribu ...

Tidak ada yang berubah, antrian kantin Masjid Salman selepas Jumatan selalu seperti ini

Selepas dari kampus, aku balik ke kosan, ketiduran sampe sekitar jam 5. Lepas Maghrib aku udah janjian sama adik kelas Smanti yang bawa fotokopian ijazahku. Lepas Isya makan malem di Balubur sekalian mberesin urusan tiket sama Belinda, trus jam 9an balik lagi ke kosan buat persiapan penjelajahan lanjutan esok hari di Jekardah ...

Sepenggal Cerita Bus Efisiensi

Seperti yang udah aku tulis di perjalanan hari ke-2 TJKW1, aku sempat "berkhianat" dengan tidak menggunakan moda kereta-api, melainkan bus. Beruntungnya, armada bus yang aku naiki termasuk istimewa dalam hal pelayanan, yaitu PO Efisiensi, yang di kalangan bismania maupun railfans dikenal dengan julukan Jeng Efi

Royal Class Efisiensi

Saat ini PO Efisiensi adalah raja bus patas lokal dari Yogyakarta ke kota2 di bagian barat Jawa Tengah, terutama Cilacap, Purwokerto dan Purbalingga.

Armada Bus Patas Efisiensi Royal Class, dengan jadwal tertera pada jendela

Pengalaman menggunakan bus ini, cuma satu komentarku mengenai pelayanannya: 99% SEMPURNA, kenapa aku bilang 99%? Karena yang 1% kebetulan tidak aku temukan pada perjalanan hari itu. Bayangkan saja, jadwal keberangkatan jam 11:00, itulah kenyataannya.



Hal tersebut ditunjang dengan kru yang ramah dan disiplin hanya mengambil penumpang di tempat yang telah ditentukan, bus-bus yang baru dan bersih, kursi yang sangat nyaman untuk perjalanan jarak menengah dan yang paling penting, tarif tertera jelas di badan bus dan tiket secara jelas mencantumkan jadwal dan harga. 

Informasi yang memadai, penumpang tidak perlu takut terhadap kru yang memainkan harga

Standar operasional yang baik dicerminkan PO Efisiensi pada tiket yang informatif

Tak kalah menarik adalah hiburan sepanjang perjalanan dengan perangkat multimedia yang melebihi ekspektasi, air minum gratis + snack (khusus royal class), shuttle yang lebih nyaman dari ruang tunggu bandara, layanan antar jemput gratis dari dan ke beberapa shuttle utama (bandara maupun beberapa agen di lokasi-lokasi strategis)

Interior "Jeng Efi" Royal Class tujuan Cilacap, mirip interior pesawat kelas bisnis. Di samping kanannya adalah armada Patas Efisiensi tujuan Purwokerto

Snack-nya dari anak perusahaan Garuda Indonesia, minumannya teh dalam kemasan 

Mari membandingkan layanan Jeng Efi dengan (Alm) Maguwo Ekspres, dengan tarif Patas 40,000 dan Royal Class 50,000, layanan-layanan di atas bisa diperoleh, tapi harus diakui, selancar-lancarnya jalan raya, bus ini kalah waktu tempuh dibandingkan dengan Maguwo Ekspres yang (pada saat itu) bertarif 60,000. Dalam perjalanan kemarin, aku tiba di Terminal Cilacap sekitar jam 15:50, artinya bus menempuh perjalanan selama 3 jam 50 menit, sekitar 1,5 kali waktu tempuh KA Maguwo Ekspres. Kalau sudah begini memang kembalinya adalah ke persoalan kebutuhan dan selera, jujur saja, meskipun aku seorang railfans, kalau saja aku harus menempuh perjalanan Yogyakarta - Cilacap/ Purwokerto secara rutin, layanan Bus Efisiensi yang tersedia setiap jam, jauh lebih menggoda. Dan akhirnya pasar memang berbicara, Bus Efisiensi bertahan, Maguwo Ekspres harus tereliminasi di usia tidak sampai dua bulan.

Jumat, 02 November 2012

Ekspedisi Tanah Jawa Kalungan Wesi I (Day 2, SLO-YK-CP-CNP-CN)


Hari kedua ekspedisi TJKW I lebih banyak berlangsung di Jawa Tengah dan Yogyakarta. Seperti sudah aku tulis di posting sebelumnya, di hari kedua ini aku berencana untuk mencoba KA-7049/7052/7051 Railbus Batara Kresna menyusuri jalanan di Jl. Slamet Riyadi Kota Solo untuk merasakan kembali salah satu trek aktif yang sepi ke Stasiun Sukoharjo (SKH). Meskipun aktif, trek ini dulunya hanya dilewati oleh KA Feeder tujuan Stasiun Wonogiri (WNG). Namun berdasarkan informasi yang beredar di forum komunitas Railfans Indonesia, saat ini Railbus dalam masa perbaikan sehingga perjalanannya dibatalkan. 

Suatu sudut Stasiun Solo Balapan (SLO), dari posisi ini kita bisa menyusup stasiun tanpa tiket :D

Karena sudah memperkirakan kemungkinan ini, aku pun telah menyusun dua rencana cadangan. Plan-B-nya adalah mengejar KA-203 Prambanan Ekspres jam 6:30 untuk menyusul KA-7151 Maguwo Ekspres jam 8:05 dari Stasiun Maguwo. Plan-B ini nggak kalah menantang, selain bisa hunting di Stasiun Maguwo (MGW), stasiun bandara pertama di Indonesia, aku berencana turun di Stasiun Purwokerto (PWT) atau Kroya (KYA) dan selanjutnya ngambing KA-81 Purwojaya ke tujuanku di Stasiun Cilacap (CP). 

Kereta Rel Diesel Indonesia (KRDI) Madiun Jaya AC masuk SLO, terlambat sekitar 10 menit

Namun seperti informasi yang udah aku terima juga, baik KA-203 maupun KA-7151 sama-sama dibatalkan karena tidak adanya armada. Kabar terakhir yang aku terima, KA-7151 perjalanannya dibatalkan secara permanen, sebab armada yang telah selesai diperbaiki akhirnya digunakan untuk rangkaian KA Sriwedari relasi Solo-Yogyakarta. Kereta dengan kelas ekonomi-AC ini digunakan sebagai rangkaian penunjang KA Prameks yang banyak dibatalkan jadwalnya.

Stasiun Yogyakarta nan megah, salah satu stasiun berbentuk pulau, yaitu stasiun dengan bangunan utama diapit jalur-jalur rel KA

Akhirnya Plan-C yang aku ambil, dengan menggunakan rangkaian kereta buatan Indonesia, KA-223 Madiun Jaya AC yang dijadwalkan berangkat dari SLO jam 8:32 dengan tujuan akhir Stasiun Yogyakarta (YK). Telat sekitar 30 menit-an dari jadwal, KA-233 masuk YK sekitar jam 10:20. Nggak terlalu lama sih di Kota Gudeg ini, clingak-clinguk sebentar di Malioboro, beli kaos dua biji, satu buat si kecil :*, satu lagi buat aku pake sendiri (FYI, ekspedisi kali ini aku cuma bawa kaos dua biji :D). Perjalanan lanjut dengan nyebrang ke halte TransJogja, naik koridor 2B ke Terminal Giwangan.

Mejeng di salah satu spot wajib kaum narsismus

Mejeng lagi di halte TransJogja Terminal Giwangan sekitar jam 10:40 dan langsung menuju peron keberangkatan bus ke Cilacap

Pada plan-C, salah satu step alternatif yang harus aku lalui emang nggak menggunakan jalur kereta-api, sebab saat ini nggak ada jadwal KA lokal yang menghubungkan Yogyakarta dengan Cilacap setelah seluruh jadwal KA Maguwo Ekspres dibatalkan. Cuss ... pilihan aku jatuhkan ke armada Bus Patas Efisiensi yang berangkat tiap jam menuju Cilacap, alasannya simpel aja, dengan tarif yang "cuma" dua kali lipat dari bus ekonomi, aku nggak harus deg2an dengan waktu tempuh, karena aku harus tiba di Cilacap sebelum waktu keberangkatan KA-79 Purwojaya jam 18:30. Alasan lainnya, tentu saja aku ingin terbebas dari asap rokok. Cerita seputar Bus Efisiensi ini aku buat terpisah DI SINI

Armada Bus Patas Efisiensi Royal Class, dengan jadwal tertera pada jendela

Cukup beruntung, sepanjang perjalanan menuju Cilacap, jalan yang dilalui "Jeng Efi" melewati salah satu jalur KA yang saat ini tengah mati suri, yaitu jalur Kutoarjo (KTA) - Purworejo (PWR), yang keduanya termasuk di Kabupaten Purworejo, Jawa Tengah. Jalur ini sebenarnya sempat aktif hingga tahun 2010 dengan perjalanan 3x PP KA Feeder Purworejo menggunakan lokomotif lama BB200. Seiring dengan kondisi sang lokomotif yang rusak dan kondisi jalur rel yang mengkhawatirkan, akhirnya seluruh trip KA tersebut dibatalkan. Tidak seperti KA Feeder Wonogiri yang sempat aku nikmati sensasinya, Feeder Purworejo yang dalam perjalanannya menarik dua kereta ekonomi ini belum sempat aku rasakan.

Jalur kereta api Kutoarjo (KTA) - Purworejo (PWR); hidup segan, mati pun tak hendak

Tiba di Kota Cilacap, waktu masih menunjukkan pukul 15:50, lebih cepat 1 jam 10 menit dari perkiraanku. Waktu yang masih cukup panjang, ditambah perut yang baru terisi sepotong roti maryam di SLO dan sepotong roti kacang hijau dari "Jeng Efi", aku pun memutuskan untuk berburu kuliner khas Cilacap. Sembari Googling via gadget yang aku bawa, aku pun menyusuri Jl. Gatot Subroto yang menurut informasi ada penjual Soto Sokaraja yang terkenal, namun sayangnya tidak ada satu pun di antara penjual Soto Sokaraja yang buka. Hingga pada akhirnya aku menemukan sebuah depot menawarkan aneka sajian iga yang terletak bersebelahan dangan kantor cabang BCA dan kantor redaksi Radar Cilacap. Sekilas, aku memang pernah ingat ada sebuah warung di Bandung di daerah Itenas yang menjajakan aneka sajian iga dengan embel-embel "Khas Cilacap". 

Hmmm ... sajian penganan terbaik dalam dua hari perjalanan

Cukup menggoda, karena itulah aku akhirnya membelokkan langkahku, meskipun saat itu tidak ada pengunjung di warung tersebut. Aku sih maklum saja, di kota yang cukup sepi saat itu, siapa juga yang mau makan jam 4 sore. Awalnya aku ingin memesan Sup Iga Bakar yang menjadi sajian spesial depot itu, namun tak ingin batuk yang aku alami semakin menjadi, aku memilih Sup Iga Rebus yang menurutku lebih bersahabat dengan tenggorokanku. 18,000 rupiah untuk nasi + sup iga + segelas es jeruk, menurut aku cukup sepadan. Sore itu pun aku bersyukur dapat menikmati kuah kaldu yang cukup lezat, ditambah beberapa potong sayuran dan yang paling penting tekstur iga yang lembut sehingga tidak menyulitkan siapa pun untuk mengunyahnya.

Setelah puas menikmati makan sore, aku pun menuju jalan raya yang terletak tepat di depan depot, bermodal informasi ala kadarnya dari pemilik depot, aku pun mencegat angkot berwarna hijau mangkak yang rutenya melalui stasiun Cilacap, dan si sopir angkot pun membenarkan hal tersebut. Suasana Kota Cilacap sore itu benar-benar lengang, aku nggak tahu apakah biasanya memang seperti itu, yang jelas si sopir sepertinya juga tidak terlalu berminat ngetem untuk mencari lebih banyak penumpang, dengan tarif yang sama seperti tarif angkot di Malang, 2,500 rupiah, aku bagaikan mencarter taksi sendirian, dan waktu tempuh perjalanan menuju stasiun pun tidak sampai 10 menit.

Bangunan megah Stasiun Cilacap (CP)

Sekitar jam 5 sore, aku sudah berada di Stasiun Cilacap (CP), artinya masih ada waktu 1,5 jam sebelum keberangkatan KA-79 Purwojaya. Stasiun yang terletak pada ketinggian +5 meter di atas permukaan laut ini memiliki bangunan megah yang cukup khas dengan pilar-pilar raksasa. Namun sayangnya hanya ada satu KA komersial yang datang dan berangkat dari stasiun ini, yaitu KA Purwojaya relasi Cilacap (CP) - Jakarta Gambir (GMR) PP. Stasiun Cilacap yang berada di bawah naungan Daerah Operasi V Purwokerto ini juga melayani rangkaian kereta ketel avtur Pertamina. Hingga sekitar tahun 2010 sebenarnya juga ada rangkaian KA Feeder Logawa tujuan Jember, namun lagi-lagi karena ketiadaan armada lokomotif akhirnya rangkaian tersebut dibatalkan perjalanannya.

Dipo lokomotif mini CP, dengan sebuah turn-table aktif, beberapa lokomotif seri-D dan CC-20160 yang mengintip di ujung Dipo, siap menghela KA-79/82 menuju GMR

Waktu 1,5 jam yang ada akhirnya aku manfaatkan untuk berburu gambar di sekitar stasiun. Sebagai stasiun aktif yang sepi, pengamanan di Stasiun Cilacap memang tergolong longgar, para petugas di sini juga sangat ramah dan dekat dengan masyarakat sekitar yang tengah bermain-main di dalam stasiun, gerbang di samping kanan stasiun yang terbuka lebar bisa dimasuki siapa saja. Tidak mengherankan, sebab terdapat perkampungan di samping Dipo lokomotif mini yang bisa diakses dengan mudah. Setelah Maghrib, peron pun dibuka untuk proses boarding bagi calon penumpang KA Purwojaya, namun tampaknya hanya formalitas belaka, nyatanya nyaris seluruh penumpang sudah berada di dalam stasiun sejak peron belum dibuka. Menariknya, PPKA tak lupa mengingatkan penumpang untuk menunaikan sholat maghrib terlebih dahulu di mushola yang cukup bersih dan asri di bagian selatan stasiun.

18:25; KA-79 feat CC-20160 bersiap di jalur 2 Stasiun Cilacap (CP)

Tepat pada pukul 18:30, KA-79 yang ditarik lokomotif CC-20160 bergerak meninggalkan Stasiun Cilacap, yang menggelikan, seluruh posisi kursi sengaja dihadapkan terbalik dengan arah berjalannya KA, sebab nantinya posisi kereta dan lokomotif akan berbalik arah di Stasiun Kroya (KYA). Dalam perjalanannya, KA-79 berhenti sejenak di Stasiun Gumilir (GM), berjalan langsung melewati Stasiun Kasugihan (KH) yang merupakan stasiun percabangan dengan jalur kereta ke arah Bandung, berhenti sejenak di Maos (MA), sebelum akhirnya menjalani prosesi balik arah di KYA. Tepat pada waktunya 19:27 KA Purwojaya yang telah berganti nomor menjadi KA-82 bergerak ke arah Stasiun Gambir (GMR).

19:25; KA-82 feat CC-20160 bersiap di jalur 2 Stasiun Kroya (KYA)

Pukul 22:35, atau terlambat sekitar 18 menit dari jadwal, KA-82 masuk Stasiun Cirebon Prujakan (CNP), aku turun di sini untuk transfer KA-49/52 Harina dari Semarang Tawang (SMT) yang dijadwalkan berangkat dari Stasiun Cirebon (CN) pada pukul 1:20. Dari CNP ke CN sebenarnya ada jalur angkot, tapi malam itu aku memilih mengiyakan tawaran seorang tukang becak. Salah satu tujuanku malam itu adalah berburu kuliner Cirebon, Nasi Jamblang atau Empal Gentong. Tapi ada satu hal yang tidak aku perkirakan sebelumnya, malam itu adalah malam Jumat Kliwon, Pak Tukang Becak bercerita bahwa nyaris tidak ada penjual makanan yang buka malam itu, kalaupun ada hanya lalapan, nasi goreng dan semacamnya yang tentu saja nggak menarik minatku. Anti-klimaks, akhirnya aku memenuhi tuntutan perutku di sebuah warung bubur ayam yang terletak persis di depan stasiun Cirebon.

Stasiun Cirebon (CN), salah satu stasiun klasik berarsitektur menawan yang bentuk bangunannya tak berubah semenjak selesai dibangun pada tahun 1911, dikenal juga sebagai Stasiun Kejaksan

Di stasiun Cirebon (CN) aku langsung melakukan boarding dan masuk ke ruang tunggu eksekutif yang malam itu ternyata dipenuhi calon penumpang KA-42 Taksaka tujuan YK, KA-4 Argo Bromo Anggrek tujuan Surabaya Pasar Turi (SBI) dan KA-50 Harina tujuan SMT. Karena tidak kebagian tempat duduk, aku pun langsung menuju ruang mushola dan memutuskan untuk mandi dan berganti baju yang sudah kupakai sekitar 30 jam :D


Tepat pada waktunya, KA-49 tiba dan berangkat dari CN pada pukul 1:20 menuju Stasiun Bandung (BD). Karena sudah sangat capek, aku pun memutuskan untuk tidur selelap-lelapnya di dalam kereta hingga fajar menyingsing di timur Kota Bandung yang sudah sangat lama aku rindukan.

Kamis, 01 November 2012

Ekspedisi Tanah Jawa Kalungan Wesi I (Day 1, ML-SLO)

Setelah berbulan-bulan penuh perencanaan matang, akhirnya tercapai juga keinginan buat nglakuin ekspedisi tunggal. Sebuah ekspedisi yang aku beri judul "Tanah Jowo Kalungan Wesi I", kanapa pakai "I"? Tentu saja karena aku juga uda mulai ngerencanain ekspedisi selanjutnya. Buat yg pernah baca2 Jangka Jayabaya, tentu cukup akrab dengan frase itu. Jangka Jayabaya adalah sebuah kitab berisi tulisan2 Prabu Jayabaya dari Kerajaan Kadiri (meskipun hal tsb masih muncul perdebatan di kalangan sejarawan). Dalam kitab tsb, disebutkan

"Besuk yen wis ana kreta tanpa jaran, tanah jawa kalungan wesi"

(Kelak jika sudah ada kereta tanpa kuda, pulau Jawa berkalung besi)1

identitas perjalanan ini ... :)

Dan demikianlah, selama lima hari empat malam, mulai 31 Oktober sampai 4 November 2012, aku akan menyusuri kalung besi-nya Pulau Jawa, yang sebagian besar tentu saja menggunakan moda transportasi kereta tanpa kuda, kereta api. Sebagian besar tiket juga sudah aku booking pada saat HUT ke-67 PT Kereta Api Indonesia (Persero) pada 28 September 2012 lalu, pada hari itu PT KAI memang bagi2 banyak banget tiket promo, yg tentu saja aku booking langsung dari agenku sendiri, bimasakti64 (ngiklan dong ...). Tercatat di tanganku telah tergenggam lima tiket, Gajayana 100rb, Purwojaya 50rb, Harina 50rb, Argo Parahyangan 20rb dan Rajawali 50rb.


rentengan tiket promo 


Mengambil waktu di akhir masa UTS yang (biasanya) makin dikit matakuliahnya, ternyata muncul beberapa tantangan. Pertama, di akhir masa UTS trnyata matakuliahnya cukup banyak, tp untunglah berkat modal pertemanan yg baik sama pengatur jadwal pengawas UTS, aku bisa minta off-duty buat tanggal 1-2 November. Kedua, deadline laporan penelitian 2 November, yg untungnya udah aku jilid. keempat adalah pengurusan NIDN 1 November yg untungnya ada bantuan dr mahasiswa bimbinganku tersayang, Deta :)) dan keempat, deadline ngumpulin nilai UTS di 31 Oktober, yg baru aku koreksi sekelas :D

Di depan plat-name KMP Batik Gajayana

Sepulang dari kampus di kisaran jam 12 siang, gak butuh waktu lama aku pun memacu kendaraan ke arah SMAN 3 Malang, buat parkir gratis tentunya ... :D. Jam 13:00 tepat aku udah siap boarding ruang tunggu Stasiun Malang (ML). Setelah naruh ransel di kabin KA-7023 Gajayana yang udah siap take-off dari peron-1, aku pun langsung mengabadikan beberapa momen di dalam stasiun. Di peron-2 udah bersiap KA-93L Majapahit yang akan berangkat lebih dulu daripada Gajayana. Tepat pada pukul 13:25 CC-20320 (CC-2039808) milik Depo Jatinegara berangkat menarik rangkaian KA Majapahit.

13:25 - Masinis KA-93L di peron-2 melongok jendela menunggu semboyan-40 dan 41 dari PPKA dan KP 93L, di kanannya KA-7023 siap diberangkatkan 13:45 dari peron-1 ML

Dan tepat pada waktunya, 13:45, KA-7023 yang ditarik lokomotif CC-20336 (CC2031006), yang juga milik Depo Jatinegara, berangkat dari peron-1. Rangkaian kereta berjalan normal sampai di Stasiun Blitar (BL) tepat waktu pada pukul 15:41. Di stasiun ini aku sempat turun sebentar untuk mengganjal perut yang sudah sangat lapar, karena paginya aku udah sarapan pecel, aku pun nggak membeli makanan khas Blitar itu, melainkan sebungkus "nasi rames" + "sate tempura", 5000 rupiah saja. Apa yang disebut "rames" di Stasiun Blitar ini sebenarnya adalah sekitar 5 sendok nasi ditambah sesendok mi instan goreng, sesendok sambal goreng kentang balado dan sepotong dadar jagung (sunda: bala2 jagung) goreng. Sederhana, tapi dengan harganya yang sangat murah itu, menu ini cukup mengganjal di perut hinggal malam tiba.

Nasi "rames" + sate "tempura" ala Stasiun Blitar

Selepas BL, di beberapa petak KA Gajayana mendapat sinyal berhenti yang menyebabkan perjalanan lebih lambat dari waktu seharusnya. sekitar 19:30, KA-7023 baru tiba di Stasiun Madiun (MN). Di kota pabrik kereta ini, Gajayana dijadwalkan menyusul (menyalip) KA Majapahit, dan benar saja, saat 7023 masuk peron-1 MN, 93L telah menunggu dengan sabar di peron-2, sekitar lima menit kemudian, Gajayana berangkat melanjutkan perjalanan.

19:30: Kiri: Majapahit di jalur-2, kanan: Gajayana di jalur-1 MN

Sekitar pukul 20:40, terlambat 25 menit dari jadwal sebenarnya, KA Gajayana masuk di Stasiun Solo Balapan, tujuan pertamaku pada tur hari pertama ini. Kenapa kok mesti mampir Solo? karena aku bermaksud mencoba Railbus Batara Kresna ke Sukoharjo atau Maguwo Ekspres menuju Kota Cilacap esok paginya. Untuk beristirahat malam ini, sebenarnya rencana awal aku pingin menginap di warnet, memenuhi asupan data sekaligus mengisi tenaga beberapa gadget, tapi kemudian setelah aku pikir-pikir, aku juga butuh istirahat, akhirnya dari hasil searching-searching, dapatlah sebuah motel sederhana dengan tarif semalam hanya 55,000 (fasilitas fan, kamar mandi dalam + sudah termasuk dua teh botol) di kawasan Karanganyar. Menariknya, hotel ini juga menawarkan tarif untuk 3 jam (hmmmmmm), oke lah, nggak usah kita bahas urusan itu, toh sepanjang malam aku menginap di hotel itu, ada satu keluarga cukup besar yang menginap di situ dan nggak ada gerebekan Satpol PP.

Hotel Kendedes 11 yang aku foto keesokan paginya


1 http://id.wikipedia.org/wiki/Ramalan_Jayabaya